KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr. wb.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang memberi kami rahmat dan
kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Gangguan
Berbahasa”.
Gangguan berbahasa dapat dibagi menjadi dua yaitu gangguan akibat faktor medis
dan faktor lingkungan. Pada pembahasan kali ini ada dua gangguan berbahasa
,yaitu gangguan berbicara dan gangguan berbahasa itu sendiri. Di dalam makalah
ini akan dipaparkan dari kedua ganggguan tersebut.
Dalam penyusunan makalah ini masih terdapat berbagai kekurangan baik dalam
penjelasan maupun penulisannya oleh karena itu saran dan kritik masih
dibutuhkan. Demikianlah mudah-mudahan makalah ini dapat membantu didalam proses
belajar mengajar.
Wassalamu’alaikum wr. wb. .
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang
Bahasa
adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia. Berbahasa merupakan proses mengomunikasikan
bahasa tersebut. Proses berbahasa sendiri memerlukan pikiran dan perasaan yang
dilakukan oleh otak manusia untuk menghasilkan kata-kata atau kalimat.
Alat bicara yang baik akan mempermudah berbahasa dengan
baik. Namun, mereka yang memiliki kelainan fungsi otak dan bicaranya, tentu
mempunyai kesulitan dalam berbahasa, baik produktif maupun reseptif. Inilah
yang di sebut sebagai gangguan berbahasa.
Gangguan-gangguan berbahasa tersebut
sebenarnya akan sangat mempengaruhi proses berkomunikasi dan berbahasa. Banyak
faktor yang mempengaruhi dan menyebabkan adanya gangguan berbahasa, kemudian
faktor-faktor tersebut akan menimbulkan gangguan berbahasa. Maka dari itu,
dalam makalah ini akan dijabarkan macam gangguan berbahasa yang sering dialami
manusia berserta faktor-faktor yang menyebakannya.
Secara medis menurut Sidharta (1984) gangguan berbahasa itu dapat di bedakan
atas tiga golongan, yaitu (1) gangguan berbicara, (2) gangguan berbahasa, dan
(3) gangguan berpikir. Ketiga gangguan itu masih dapat di atasi kalau
penderita gangguan itu mempunyai daya dengar yang normal; jika tidak,
maka akan menjadi sukar atau bahkan sangat sukar.
1.2
Rumusan masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan gangguan
berbicara ?
2. Apa saja jenis-jenis gangguan
berbicara?
3. Apakah yang dimaksud dengan gangguan
berbahasa?
4. Apa saja jenis-jenis gangguan
berbahasa?
1.3
Tujuan penulisan makalah
Makalah ini bertujuan untuk :
1. Menjelaskan apa yang dimaksud
gangguan berbicara serta jenis-jenis gangguannya.
2. Menjelaskan mengenai gangguan
berbahasa dan jenis-jenisnya.
3. Membantu mahasiswa untuk dapat
memahami mata kuliah Psikolinguistik.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Gangguan Berbicara
Berbicara
merupakan aktivitas motorik yang mengandung modalitas psikis. Oleh karena itu,
gangguan berbicara ini dapat dikelompokkan kedalam dua kategori. Pertama, gangguan mekanisme berbicara
yang yang berimplikasi pada gangguan organik. Dan kedua, gangguan berbicara psikogenik.
a. Gangguan Mekanisme Berbicara
Mekanisme
berbicara adalah suatu proses produksi ucapan (perkataan) oleh kegiatan terpadu
dari pita suara, lidah, otot-otot yang membentuk rongga mulut serta
kerongkongan, dan peru-paru. Maka gangguan berbicara berdasarkan meknismenya
ini dapat dirinci menjadi gangguan berbicara akibat kelainan pada paru-paru
(pulmonal), pada pita suara (laringan), pada lidah (lingual), dan pada rongga
mulut dan kerongkongan (resonantal).
1. Gangguan Akibat Faktor Pulmonal
Gangguan
berbicara ini dialami oleh para penderita penyakit paru-paru. Para penderita
penyakit paru-paru ini kekuatan bernafasnya sangat kurang, sehingga cara
berbicaranya diwarnai oleh nada yang monoton, volume suara kecil sekali, dan
terputus-putus, meskipun dari segi semantik dan sintaksis tidak ada masalah.
2. Gangguan Akibat
Faktor Laringan
Gangguan
pda pita suara menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi serak atau hilang sama
sekali. Gangguan berbicara akibat faktor laringan ini ditandai oleh suara yang
serak atau hilang, tanpa kelainan semantik dan sintaksisnyaa. Artinya, dilihat
dari segi semantik dan sintaksis ucapannya bisa diterima.
3. Gangguan Akibat
Faktor Lingual
Lidah
yang sariawan atau terluka akan terasa pedih kalau digerakkan. Untuk mencegah
timbulnya rasa pedih ini ketika berbicara maka gerak aktivitas lidah itu
dikurangi secara semaunya. Dalam keadaan seperti ini maka pengucapan sejumlah
fonem menjadi tidak sempurna, sehingga misalnya, kalimat “sudah barang tentu
dia akan menyangkal” mungkin akan diucapkan menjadi “hu ah ba-ang ke-ku ia a-an
me- angkay”. Pada orang yangterkena stroke dan badannya lumpuhsebelah, maka
lidahnya pun lumpuh sebelah. Oleh karena itu, cara berbicaranya juga akan
terganggu, yaitu menjadi pelo atau cadel. Istilah medisnya disatria (yang
berarti terganggunya artikulasi).
4.Gangguan Akibat
Faktor Resonansi
Gangguan
akibat faktor resonansi ini menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi
bersengau. Pada orang sumbing, misalnya. Suaranya menjadi tersengau (bindeng)
karena rongga mulut dan rongga hidun yang digunakan untuk berkomunikasi melalui
defek di langit-langit keras (palatum), sehingga resonansi yang seharusnya
menjadi terganggu. Hal ini terjadi juga pada ornag yang mengalami kelumpuhan
pada langit-langit lunak (velum). Rongga langit-langit ini tidak memberikan
resonansi yang seharusnya, sehingga suaranya
menjadi tersengau. Penderita penyakit miastenia gravis (gangguan yang
menyebabkan otot menjadi lemah dan cepat lelah) sering dikenali secara langsung
karena kesengauan ini.
b.
Gangguan Akibat Multifaktorial
Akibat
gangguan multifaktorial atau berbagai faktor bisa menyebabkan terjadinya
berbagai gangguan berbagai gangguan berbicara. Antara lain adalah berikut ini :
1. Berbicara
Serampangan
Berbicara
serampangan atau semberono adalah berbicara dengan cepat sekali, dengan
artikulasi yang rusak, ditambah dengan “menelan” sejumlah suku kata, sehingga
apa yang diucapkan sukar dipahami. Dalam kehidupan sehari-hari kasus ini memang
jarang dijumpai; tetapi didalam praktek kedokteran sering ditemui. Umpamanya
kalimat “kmarin pagi saya sudah beberapa kali kesini” diucapkan dengan cepat
menjadi “kemary sdada berali ksni”. Berbicara serampangan ini karena kerusakan
di serebelum atau bisa juga terjadi
sehabis terkena kelumpuhan ringan sebelah badan.
2.Berbicara Propulsif
Gangguan
berbicara propulsif biasanya terdapat pada para penderita penyakit parkoinson (kerusakan pada otak yang
menyebabkan otot menjadi gemetar, kaku dan lemah). para penderita penyakit ini
biasanya bermasalah dalam melakukan
gerakan-gerakan. Mereka sukar sekali untuk memulai suatu gerakan. Namun, bila
sudah bergerak maka ia dapat terus menerus tanpa henti. Gerak yang laju terus
itu disebut propulsi. Pada waktu
berbicara ciri khas ini akan tampak pula. Artikulasi sangat terganggu karena
elastisitas otot lidah, otot wajah, dan pita suara, sebagian besar lenyap.
Dalam pada itu volume suaranya kecil, iramanya datar (monoton). Suaranya
mula-mula tersendat-sendat, kemudian terus menerus, dan akhirnya tersendat-semdat
kembali. Oleh karena itu, cara berbicara
seperti ini disebut propulsif.
3.Berbicara Mutis (Mutisme)
Penderita
gangguan mutisme ini tidak berbicara sama sekali. Sebagian besar dari mereka
mungkin masih dapat dianggap membisu, yakni memang sengaja tidak mau bicara.
Mutisme ini sebenarnya bukan hanya tidak dapat berkomunikasi secara verbal saja
tetapi juga tidak dapat berkomunikasi secara visual maupun isyarat, seperti
dengan gerak-gerik, dan sebagainya.
Dunia
ilmiah sebenarnya belum dapat menjelaskan dengan tepat apa, mutisme itu. Oleh
karena itu, tak heran kalau kita dapatkan berbagai teori dan anggapan dari
berbagai pihak tentang mutisme itu. Oleh karena itu pula, setiap orang yang
tidak dapat berkomunikasi verbal dinyatakan sebagai mutistik.
Dengan
begitu seseorang yang membisu sebagai tindakan protes nonverbal dapat dianggap
menderita mutisme histerik, padahal sebenarnya merupakan sindrom konversi
histerik. Perwujudan histeria lain adalah mutisme elektif karena membisunya itu
ditujukan kepada orang-orang tertantu saja, misalnya kepada gurunya atau
pacaranya. Dewasa ini apa yang dulu dikenal sebagai mutisme akinetik lebih
dikenal sebagai locked-in syndrome.
Dalam
hal ini, si penderita masih hidup karena jantung, paru-paru, ginjal, hati, dan
hampir organ masih berfungsi. Hanya gerakan voluntar, pikiran, minat, keinginan
dan semua fungsi luhur lainnya sudah tidak bekerja sama sekali. Mutisme lain
diketahui penyebabnya. Hanya baru diperkirakan mutisme ini mungkin suatu
keadaan jiwa yang terganggu sejak dilahirkan (Sidharta, 1982).
Multisme
tidak bisa disamakan dengan oang bisu, apalagi denga bisu tuli. Dalam hal
kebisuan ini sebenarnya perlu dibedakan adanya tiga macam penderita. Pertama, orang yang bisu karena
kerusakan atau kelainan alat artikulasi, sehingga dia tidak bisamemproduksi
ujaran bahasa; tetapi alat dengarnya normal sehingga dia dapat mendengar suara bahasa orang lain. Kedua, orang yang bisu karena kerusakan
kelainan alat artikulasi dan alat pendengarnya, sehingga dia tidak bisa memproduksi
ujaran bahasa dan juga tidak mendengar ujaran bahasa orang lain. Ketiga, oramg bisu yang sebenarnya alat
artikulasinya normal tidak ada kelainan; tetapi alat pendengarannya rusak atau
ada kelainnan. Orang golongan ketiga ini menjadi bisu karena dia tidak pernah
mendengar ujaran bahasa orang lain, sehingga dia tidak bisa menirukan ujaran
bahasa itu.
Pasien
golangan pertama, yang alat artikulasinya rusak atau mengalami kelainnan,
sedangkan alat dengarnya normal, kalu fungsi hemisfer otak yang dominannya normal,
masih akan dapat berkomunikasi. Hanya tentunya, jika diajak bertutur dia akan
memjawab atau bertanya dalam bahasa isyarat, atau dalam bahasa tulis (jika dia
sudah belajar menulis)
Pasien
golongan kedua yang bisu tulikarena alat artikulasi dan alat pendengarannya
rusak, kalau fungsi hemisfer otak yang dominannya normal, masih akan dapat
berkomunikasi dengan bahasa isyarat atau dengan bahasa “membaca bibir”. Untuk
dapat berkomunikasi itu tentunya merekamemerlukan pendidikan dan pelatihan
khusus yang memakan banyak waktu.
Pasien
golongan ketiga yang menjadi bisu karena kerusakan atau kelainan alat
dengarnya, kalau fungsi hemisfer otak yang dominannya normal, masih
bisa dilatih untuk memproduksi ujaran bahasa secara tidak sempurna
karena dia tidak bisa mendengar ujaran bahasa itu. Pelatihan dilakukan dengan
cara dia disuruh memperhatikannya,memegang dan merasakan “gerak mulut” pelatih
bicaranya. Ia pun tentu memerlukan waktu yang cukup lama.
Ketiga
golongan pasien kasus kebisuan tidak berkaitan dengan fungsi otak. Hanya barang
kali perkembangan fungsi otak itu yang terganggu.
c.
Gangguan Psikogenik
Selain
karena karena faktor gangguan mekanisme berbicara sebagaimana dijelaskan
diatas, ada juga gangguan berbicara disebabkan segi mental atau psikogenik.
Gangguan ini bersifat lebih ‘ringan’ karena itu lebih tepat disebut sebagai
variasi cara berbicara yang normal sebagai ungkapan dari gangguan mental.
Modalitas mental ini terungkap dari nada, intonasi, intensitas suara, lafal,
dan diksi atau pilihan kata. Ujaran yang berirama lancar atau tersendat-sendat
dapat juga mencerminkan sikap mental si pembicara. Gangguan psikogenik ini
antara lain sebagai berikut:
1.Berbicara Manja
Disebut
berbicara manja karena ada kesan keinginan untuk dimanja sebagaimana anak kecil
yang membuat perubahan pada cara bicaranya. Fonem (s) dilafalkan (c) sehingga
kalimat “sakit sekali susah sembuhnya” menjadi “cakit cekali cucah cembuhnya”.
Gejala seperti ini dapat diamati pada orang tua pikun atau jompo (biasanya
wanita).
2.Berbicara Kemayu
Menurut Sidharta (dalam Chaer, 2009)
istilah kemayu mengacu pada perangai kewanitaan yang berlebihan yang dalam hal
ini ditunjukkan oleh seorang pria. Berbicara kemayu dicirikan oleh gerak bibir
dan lidah yang menarik perhatian dan lafal yang dilakukan secara menonjol atau
ekstra lemah gemulai dan memanjang. Meskipun berbicara jenis ini tidak langsung
termasuk gangguan berbahasa, tetapi dapat dipandang sebagai sindrom
fonologik yang mengungkapkan gangguan identitas kelamin.
3.Berbicara Gagap
Gagap adalah berbicara yang kacau
karena sering tersendat-sendat, mendadak berhenti, lalu mengulang-ulang suku
kata pertama, kata-kata berikutnya, dan setelah berhasil mengucapkan kata-kata
itu kalimat dapat diselesaikan. Seperti orang yang ingin mengatakan,”awas ada
pohon tumbang”, tetapi ia mengucapkannya secara terputus dan berulang-ulang
sehingga menjadi seperti berikut,”a’….a..aw…awwaass…..a..aa..add..a…pp…po.hhon….ttu..tum…mbang”.
Apa yang menyebabkan terjadinya gagap
ini masih belum diketahui secara pasti, tetapi hal-hal berikut dianggap
mempunyai peranan penting penyebab terjadinya gagap:
• Faktor stres dalam kehidupan berkeluarga
•
Pendidikan anak yang dilakukan secara keras dan ketat, dengan membentak-bentak; serta tidak mengizinkan anak berargumentasi dan
membantah.
• Adanya kerusakan pada belahan otak (hemisfer) yang
dominan.
• Faktor neurotik famial.
Jika hal ini terjadi pada anak-anak
para orang tua sebaiknya tidak menganggap lucu atas keadaan ini karena akan membuat anak tersebut
merasa malu bahkan akan memperparah gagapnya. Berikut ini beberapa hal yang
harus dilakukan jika menghadapi seorang anak yang gagap:
• Bersikap sabar dan tenang
• Menyarankan anak untuk bicara dengan tenang dan perlahan
• Jangan menirukannya
•
Berbicaralah dengan tenang dan perlahan-lahan dan jelas sehingga anak tersebut mempunyai banyak kesempatan
untuk menirukan percakapan tersebut.
•
Berikan anak tersebut kesempatan untuk berbicara dan jangan memotong
pembicaraannnya.
• Berilah penghargaan kepadanya jika ia dapat berbicara
dengan baik.
4. Berbicara latah
Latah
adalah respon reflektif berupa perkataan atau perbuatan yang tidak terkendali
yang terjadi ketika seseorang merasa kaget. Latah bukanlah penyakit mental,
tapi lebih merupakan kebiasaan yang tertanam di pikiran bawah sadar. Setiap
orang latah punya respon yang berbeda-beda dalam bereaksi terhadap stimulus
yang mengagetkan, diantarnya:
• Mengulangi perkataan orang lain
• Meniru gerakan orang lain
• Mengucapkan kata-kata tertentu berulang-ulang (biasanya kata-kata jorok)
• Melaksanakan perintah secara spontan pada saat terkejut, misalnya; ketika penderita dikejutkan dengan seruan perintah seperti ”jongkok” atau “loncat”, dia akan melakukan perintah itu seketika.
• Mengulangi perkataan orang lain
• Meniru gerakan orang lain
• Mengucapkan kata-kata tertentu berulang-ulang (biasanya kata-kata jorok)
• Melaksanakan perintah secara spontan pada saat terkejut, misalnya; ketika penderita dikejutkan dengan seruan perintah seperti ”jongkok” atau “loncat”, dia akan melakukan perintah itu seketika.
Latah
sering disamakan dengan ekolalla, yaitu perbuatan membeo, atau menirukan apa
yang dikatakan orang lain; tetapi sebenarnya latah adalah suatu sindrom yang
terdiri atas curah verbal repetitif yang bersifat jorok (koprolalla) dan
gangguan lokomotorik yang dapat dipancing. Koprolalla pada latah ini
berorientasi pada alat kelamin laki-laki. Yang sering dihinggapi penyakit latah
ini adalah orang perempuan berumur 40 tahun ke atas.
Awal
mula timbulnya latah ini, menurut mereka yang terserang latah, adalah ketika
bermimpi melihat banyak sekali penis lelaki yang sebesar dan sepanjang belut.
Latah ini punya korelasi dengan kepribadian histeris. Kelatahan ini merupakan
”excuse” atau alasan untuk dapat berbicara dan bertingkahlaku porno, yang pada
hakikatnya berimplikasi invitasi seksual (lihat juga W.F.Maramis, 1998:
416-418)
Latah memang bukan gangguan psikologis yang serius dan malah banyak orang menganggapnya sebagai hiburan atau sesuatu yang lucu. Namun jika seseorang ingin tampil berwibawa atau jika ia tidak ingin lagi menjadi bahan godaan / tertawaan orang lain, maka ia harus menghilangkan kebiasaan latahnya.
Latah memang bukan gangguan psikologis yang serius dan malah banyak orang menganggapnya sebagai hiburan atau sesuatu yang lucu. Namun jika seseorang ingin tampil berwibawa atau jika ia tidak ingin lagi menjadi bahan godaan / tertawaan orang lain, maka ia harus menghilangkan kebiasaan latahnya.
Ada
dua syarat yang harus dipenuhi agar kebiasaan latah bisa dihilangkan dengan
cepat dan hasilnya permanen, yaitu:
• harus
sungguh-sungguh ingin berubah dan serius ingin
menghilangkan kebiasaan latah Anda.
• harus setuju untuk menganggap latah sebagai kebiasaan yang kurang baik dan
merugikan diri sendiri.
Kebiasaan latah akan sulit dihilangkan atau bisa saja kambuh sewaktu-waktu apabila penderita menganggap menjadi latah itu lucu, menguntungkan dan menyenangkan.
Kebiasaan latah akan sulit dihilangkan atau bisa saja kambuh sewaktu-waktu apabila penderita menganggap menjadi latah itu lucu, menguntungkan dan menyenangkan.
2.2 Gangguan Berbahasa
Berbahasa
berarti berkomunikasi dengan menggunaakan
suatu bahasa. Bagaimana kemampuan berbahasa dikuasai manusia, berkaitan
erat dan sejalan dengan perkembangan manusia yang baru lahir itu. Kanak-kanak
yang lahir dengan alat artikulasi dan auditori yang akan dapat mendengar
kata-kata dengan baik dan juga akan dapat menirukan kata-kata itu.
Pada
mulanya ucapan tiruannya itu cuma mirip tetapi lambat laun akan menjadi tegas
dan jelas. Proses memproduksi kata-kata itu berlangsung terus berjalan dengan
proses pengembangan, pengenalan, dan pengertian (gnosis dan kognisis). Dalam perkembangan itu kata-kata akan menjadi
perkataan yang merupakan abstraksi atau kata-kata yang mengandung makna.
Umpamanya, kata ayam menjadi simbol
dari binatang berkaki dua yang bersayap, tetapi tidak terbang seperti burung.
Dia hidup dan berjalan di atas bumi seperti anjing, tetapi tidak menggonggong,
melainkan berkokok. Setingkat lebih maju lagi kemudian kata ayam diasosiasikan dengan jenis, kegunaan,
kualitas, dan sebagainya.
Dengan
demikian kemampuan untuk diferensiasi antara ayam jantan dan betina, ayam
kampong dan ayam negri, daging ayam dan daging sapi, sudah diperoleh. Proses
berbicara dan mengerti bahasa adalah proses serebral, yang berarti proses
ekspresi verbal dan komperhensi
auditorik itu dilaksanakan oleh sel-sel saraf di otak yang disebut neuron.
Proses
neuron di otak ini sangat rumit sekali untuk bisa dipahami. Barangkali kalau
disedehanakan bisa kita umpamakan dengan alat komputer yang dapat menyimpan (storage) semua masukan dalam bentuk
sendi elektronik (coding), yang dapat
diangkat kembali (recall) dari
simpanan itu. Kemudian alat komputer ini mengalihkan sandi itu dalam bentuk
yang dapat dipahami oleh dunia diluar komputer (decoding).
Gudang
tempat penyimpanan sandi ekspresi kata-kata di otak adalah didaerah broca,
sedangkan gudang tempat penyimpanan sandi komperhensi kata-kata adalah didaerah
Wernicke.
Berbahasa,
seperti yang sudah disebutkan diatas, berarti berkomunikasi dengan menggunakan
suatu bahasa. Untuk dapat berbahasa diperlukan kemampuan mengerluarkan
kata-kata. Ini berarti, daerah broca dan wernicke harus berfungsi dengan baik.
Kerusakan pada daerah tersebut dan sekitarnya
menyebabkan terjadinya gangguan bahsa yang disebut afasia, dalm hal ini broce sendiri menamai afemia.
Perkembangan
gerak poluntar pada otak yang pada mulanya bersifat kaku dan kasar, kemudian
menjadi luwes, ternyata tidak terjadi pada kedua belah otak (hemisterium) secara sama. Mekanisme
neuronal yang mendasari penyempurnaan gerakan voluntar itu ternyata lebih
lengkap dan lebih rumit hanya pada salah satu belah otak saja. Oleh karena itu,
terdapatlah orang-orang yang lebih mampu menggunakan anggota gerak yang sebelah
kiri dari padasebelah kanan, atau sebaliknya.
Maka
terdapatlah orang-orang kidal atau tidak kidal. Belahan otak (hemisferium) yang
memiliki organisasi neuronal yang lebih sempurna itu dikenal sebagai
hemisferium yang dominan. Dalam pertumbuhan dan perkembangan otak pembentukan
daerah Broca dan Wernicke terjadi pada hemisferium yang dominan. Pada orang
kidal hemisferium kananlah yang dominan, dan pada orang yang tidak kidal,
hemisferium kirilah yang dominan. Perhatikan bagan otak tersebut (yang sudah
kita bicarakan pada Bab VII).
Bagian
ini menunjukan otak mempunyai setangkup daerah reseptif auditorik primer (1),
setangkup daerah reseptif sekunder (4), setangkup daerah reseptif visual (5),
setangkup daerah motorik suplementer (7), dan setangkup daerah motorik primer
(8). Disamping itu juga memiliki setunggal daerah pengenalan kembali (kognisio)
data auditorik dan visual (3), dan setunggal daerah ekspresi perkataan (6).
Daerah fungsional yang setunggal berlokasi pada hemisferium yang dominan.
Penyaluran impuls dari daerah fungsional di hemisferium yang tidak dominan ke
hemisferium yang dominan dilakukan melalui serabut-serabut korpus kolasum,
yakni serabut asosiasi (yang menghubungkan) kedua hemisferium. Data auditorik
(lafal, perkataan) ditangkap di (1) kedua sisi (belahan otak kiri – kanan).
Data itu disampaikan juga kepada (2) sehingga perkataan dapat diidentifikasikan
sebagai simbol bahasa lisan. Pengenalan kembali (kognisio) lafal perkataan
diatas oleh (3) yang juga mengurus proses kognisio lainnya, seperti kognisio visual dan taktil. Inisiasi berbicara sangat mungkin diurus oleh (3), yang
mmemerintahkan (2), untuk menghubungi (6), agar mengeluarkan perintah
pelaksanaan gerakan otot-otot kepada (8), sehingga menghasilkan lafal
perkataan. Sekaligus dengan itu (6),memesankan kepada (7) untuk mengatur
gerakan yang menghasilkan perkataan itu berjalan secara terpadu. Dalam hal ini
proses berbahasa tulis diatur melalui (5) dan (4), yang dalam pembahasan bahasa
lisan tidak akan disinggung.
Kajian
tentang afasia atau afasialogi dalam pengembangannya menghasilkan berbagai
taksonomi yang sangat menbingungkan seperti yang dibuat oleh Benson (1975),
Rapin (neurolg kanak-kanak), dan Allen (psikolinguis) (Rapin dan Allen, 1988);
tetapi taksonomi yang telah disederhanakan oleh Benson, afasia ini dibedakan
atas afasia ekspresi atau afasia motorik, yang dulu dikenal
sebagai afasia tipe Broca, dan afasia
reseptif atau afasia sensorik yang dulu dikenal sebagai afasia Wernicke.
Berikut
dibicarakan jenis-jenis afasia itu.
a. Afasia Motorik
Didapati adanya tiga macam afasia motorik ini, antara lain:
1.Afasia motorik Kortikal
Tempat
menyimpan sandi-sandi perkataan adalah korteks daerah broca. Maka apabila
gudang penyimpanan itu musnah,tidak akan ada lagi perkataan yang dapat
dikeluarkan. Jadi afasia motoric adalah hilangnya kemampuan untuk mengutarakan
isi pikiran dengan menggunakan perkataan. Penderitanya masih mengerti bahasa
lisan dan tulisan, namun ekspresi verbal tidak bisa sama sekali.
2.Afasia Motorik Subkortikal
Sandi-sandi perkataan disimpan di lapisan permukaan (korteks) daerah
broca,maka apabila kerusakan terjadi pada bagian bawahnya (subkortikal) semua
perkataan masih tersimpan utuh di dalam gudang. Namun,perkataan itu tidak dapat
dikeluarkan karena terputus,sehingga perintah untuk mengeluarkan perkataan
masih dapat disampaikan ke gudang penyampaian perkataan itu (gudang broca)
sehingga ekspresi verbal masih mungkin dengan pancingan jadi penderitanya tidak dapat mengeluarkan
isi pikirannya dengan menggunakan perkataan, tetapi masih bisa berekspresi
verbal dengan membeo.
3.Afasia Motorik Transkortikal
Afasia
motoric transkortikal terjadi karena
terganggunya hubungan langsung antara daerah broca dan wernice. Ini
berarti,hubungan langsung antara pengertian dan ekspresi bahasa terganggu. Pada
umumnya afasia motoric transkortikal ini merupakan lesikortikal yang merusak
sebagian daerah broca. Jadi penderitanya dapat mengutarakan perkataan subtitusinya. Misalnya ,untuk mengatakan pensil sebagai jawaban atas pertanyaan
“Barang yang saya pegang ini namanya apa?”. Dia tudak mampu mengeluarkan
perkataan itu. Namun, mampu untuk , mengeluarkan perkataan ,”itu ,tu ,tu ,tu
,untuk menulis.” Afasia ini disebut juga afasia nominative.
b. Afasia Sensorik
Penyebab terjadinya
afasia sensorik adalah akibat adanya kerusakan pada lesikortikal di daerah
Wernicke pada hemisferium yang dominan. Daerah itu terletak di kawasan
asosiatif anatara daerah visual, daerah sensonik, daerah motorik, dan daerah
pendengaran. Kerusakan di daerah Wernicke ini menyebabkan bukan saja pengertian
dari apa yang didengar (pengertian auditorik) terganggu, tetapi juga pengertian
dari apa yang dilihat (pengertian visual) ikut terganggu. Jadi, penderita afasia sensorik ini kehilangan pengertian
bahasa lisan dan bahasa tulis. Namun, dia masih memiliki curah verbal meskipun
hal itu tidak dipahami oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain.
Curah verbalnya itu
merupakan bahasa baru (neologisme) yang tidak dipahami oleh siapa pun. Curah
verbalnya itu sendiri dari kata-kata, ada yang mirip, ada yang tepat dengan
perkataan bahasa apapun.
Neologisme itu
diucapkannya dengan irama,irama,nada,dan melodi yang sesuia dengan bahasa asing
yang ada. Sikap mereka pun wajar-wajar saja, seakan-akan dia berdialog dalam
bahasa yang saling dimengerti. Dia bersikap biasa, tidak tegang, marah, atau
depresif. Sesungguhnya apa yang diucapkannya maupun apa yang didengarnya
(bahasa verbal yang normal), keduanya sama sekali tidak dipahaminya.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Manusia
yang normal fungsi otak dan alat bicaranya, tentu dapat berbahasa dengan baik.
Namun, mereka yang memiliki kelainan fungsi otak dan alat bicaranya, tentu
mempunyai kesulitan dalam berbahasa, baik produktif maupun reseptif. Jadi,
kemampuan bahasanya terganggu.
Gangguan berbahasa ini secara garis besar dapat dibagi dua. Pertama, gangguan akibat faktor medis; dan kedua, akibat faktor lingkungan sosial. Yang dimaksud dengan faktor medis adalah gangguan, baik akibat kelainan fungsi otak, maupun akibat kelainan alat-alat bicara. Sedangkan yang dimaksud dengan faktos sosial lingkungan adalah lingkungan kehidupan yang tidak alamiah manusia, seperti tersisih atau terisolasi kehidupan masyarakat manusia yang sewajarnya.
Secara medis menurut sidharta (1984) gangguan berbahasa itu dapat dibedakan atas tiga golongan, yaitu (1) gangguan berbicara, (2) gangguan berbahasa, (3) gangguan berpikir. Karena gangguan itu masih dapat diatasi kalau penderita itu mempunyai daya dengar yang normal; bila tidak tentu menjadi sukar atau sangat sukar.
Gangguan berbahasa ini secara garis besar dapat dibagi dua. Pertama, gangguan akibat faktor medis; dan kedua, akibat faktor lingkungan sosial. Yang dimaksud dengan faktor medis adalah gangguan, baik akibat kelainan fungsi otak, maupun akibat kelainan alat-alat bicara. Sedangkan yang dimaksud dengan faktos sosial lingkungan adalah lingkungan kehidupan yang tidak alamiah manusia, seperti tersisih atau terisolasi kehidupan masyarakat manusia yang sewajarnya.
Secara medis menurut sidharta (1984) gangguan berbahasa itu dapat dibedakan atas tiga golongan, yaitu (1) gangguan berbicara, (2) gangguan berbahasa, (3) gangguan berpikir. Karena gangguan itu masih dapat diatasi kalau penderita itu mempunyai daya dengar yang normal; bila tidak tentu menjadi sukar atau sangat sukar.
Berbicara merupakan
aktivitas motorik yang mengandung modalitas psikis. Oleh karena itu, gangguan
berbicara ini dapat dikelompokkan kedalam dua kategori. Pertama, gangguan
mekanisme berbicara yang berimplikasi pada gangguan organik; dan kedua,
gangguan berbicara psikogenik.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul, 2009, Psikolinguistik
Kajian Teoritik, Jakarta; PT Rineka Cipta.
Medan, 20 april 2016
Penyusun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar